GALAUNYA
TKW MENULIS DENGAN MODAL HP BUTUT
Oleh
: Zuhrotul Makrifah
Awalnya
saya hanya main facebook saja untuk menghilangkan rasa jenuh dari kerjaan, juga
buat menghapus rasa rindu pada kawan dan kampung halaman. Ber-say hallo,
ber-hahahihi, dan kadang kenalan sama teman baru. Seolah mencipta ruang dan
dunia mengasyikan yang lain di luar kenyataan bahwa saya sendirian, di negeri
orang, jauh dari saudara maupun kawan, dan melulu kerja. Sampai pada akhirnya
saya mengenal beberapa kawan sesama Buruh Migran yang suka menulis, salah
satunya Okti Li, yang mana tulisannya sering dimuat di majalah
Indosuara-Taiwan. Dari dia saya mulai belajar bahwa, TKW juga bisa lho berkarya
dan jadi penulis, buktinya dia bisa. Sejak itu ada semangat yang menggebu pada
saya. Saya ingin juga jadi TKW yang mempunyai nilai lebih seperti itu. Tapi
dari mana saya harus memulai? Sedang komputer saja tidak punya, buku-buku pun
sebatas majalah saja-sebagai perantau tak leluasa untuk membeli buku, selain
jarang toko buku yang menjual buku berbahasa Indonesia, saya juga tidak punya
hari libur. Akhirnya saya mengiyakan ajakan dia untuk bergabung di KOPIT
(Komunitas Penulis Indonesia-Taiwan), sebuah komunitas yang mewadahi para TKI
Taiwan yang gemar menulis di facebook.
Waktu
itu kebetulan sedang ada acara lomba menulis puisi oleh Kwek Li Na, penyair
yang menikah di Taiwan, saya mengikutinya, dan bangga sekali ketika puisi saya
dihargai dengan hadiah sebuah buku puisi karya Kwek Li Na. Seperti ada bagian
lain dari saya yang terus berkoar bahwa saya harus lebih dari sekedar TKW,
suatu ketika kelak. Selanjutnya saya mulai semakin mendekati beberapa penulis
di facebook untuk sekedar membaca catatan mereka. Sampai Okti mengabari pada
saya tentang penulisan FTS ramadhan buruh migran di beberapa Negara , saya
sangat ingin mengikuti, tapi tak punya laptop atau pun computer. Saya hanya
punya sebuah HP Sony Ericsson jadul, yang keypadnya pun telah sedikit eror.
Saya benar-benar galau-meski tetap berdoa agar Tuhan memberi kemudahan. Hingga
Okti bilang pada saya bahwa dia bisa membantu saya mengirimkan naskah, jadi
saya kirim ke inbok dia di fb baru dicopy ke Microsoft word dan dikirim
olehnya. Sebuah kebahagiaan luar biasa ketika membayangkan naskah saya akhirnya
dimuat dalam sebuah buku.
Tapi
untuk itu tentu saya tak boleh hanya membayangkan, bukan? Melainkan harus
mengeksekusi mimpi itu dengan usaha nyata. Mulailah saya bergelut dengan si hp
butut yang keypadnya kadang eror itu. Pertama saya menulis FTS saya di buku diary,
lalu setiap ada kesempatan saya mengetiknya langsung di inbok yang saya tujukan
untuk Okti. Tidak sekali selesai, karena selain ruang inbok lewat hp memang
dibatasi kapasitasnya, jempol saya juga butuh istirahat. Hal itu pun sebetulnya
lebih diperparah lagi karena ejaan bahasa Indonesia saya waktu itu belum baik,
meski tidak sampai menggunakan model sms dan saya menuliskannya dengan kalimat
utuh tanpa disingkat, hanya saja peletakan kata depan, awalan dan sebagainya
masih berantakan. Untungnya Okti selain membantu saya mengirim, juga terlebih
dahulu sedikit banyak merapikannya. Dan terpampanglah karya pertama saya dalam
sebuah antologi FTS dengan judul 30 HARI DALAM CINTA-NYA.
Jadi
ingat kata pepatah, “Dimana ada keinginan pasti ada jalan”, saya terus menulis
dengan HP jadul itu untuk waktu selanjutnya. Sambil menambah jaringan
pertemanan di facebook dengan para penulis, terutama yang menurut saya karyanya
menarik hati saya dan sejalur dengan gaya saya. Karena tiap orang pasti punya
pilihan dan penilaian yang berbeda terhadap sebuah karya dari seorang penulis.
Dari
semua itu, saya pun pelan-pelan menyanggah opini kawan-kawan yang menyebutkan
bahwa facebook tak lebih dari dunia maya yang “galau” tanpa arti. Karena
ternyata di dunia maya itulah saya mulai belajar banyak hal, terutama di bidang
kepenulisan. Sampai akhirnya saya berani menyimpulkan sendiri sebuah opini,
bahwa sesungguhnya baik buruk dunia maya sangat dipengaruhi bagaimana kita
memanfaatkannya, juga tujuan kita dalam berhubungan dengan orang-orang yang
berselancar di dalamnya, serta kejelian kita memilih dan memilah apa yang baik
untuk kita darinya.
Tak
lama berselang saya mengenal seorang mantan pimred di sebuah surat kabar,
beliau menuturkan pada saya apa itu sastra, selanjutnya beliau saya sebut Mas
J. Saya kian merasa bodoh saja, merasa ilmu saya kian dangkal saja setiap mendapat
penjelasan dari mas J . Tapi bukanya minder, malah dari situlah keinginan
belajar saya kian bergelora. Setiap malam-ketika beliau ada waktu, dengan
senang hati beliau menerangkan tentang dunia tulis-menulis pada saya, yang
kemudian kami menyebut percakapan via inbok itu sebagai “Kuliah Malam”. Kami
belajar sekenanya. Terutama saya, karena dalam posisi capek kerja seharian, pun
besok harus bangun pagi-pagi. Tapi semangat saya berkobar hebat dan membuat
saya tak banyak mengeluh. Tahap demi tahap berlalu, meski tidak mulus, karena
beliau orang yang sibuk. Akhirnya beliau menyarankan kepada saya untuk membaca
di beberapa blog, waktu itu beliau mengenalkan saya dengan blognya Goenawan
Mohammad ketika suatu hari saya diijinkan memakai komputer anak majikan saya.
Saya
sangat tertarik dan berhasrat untuk menulis puisi, meski saya belum berani
berharap untuk jadi penyair suatu kelak. Sekali, dua kali, tiga kali, dan
setelah beberapa kali membaca saya mulai belajar menulis puisi, yang kemudian
saya kirim ke Inbok mas J, juga saya uplod di facebook dengan cara
menuliskannya di bawah sebuah foto, soalnya kalau saya menuliskan di catatan,
saya tidak bisa menandai teman-teman bila lewat hp, tapi kalau foto kan bisa
ditandai.
Kalian
bisa coba sebentar saja bayangkan kegirangan saya ketika puisi saya itu tanpa
pernah saya duga sebelumnya mendapat respon banyak pujian dari beberapa penyair
ternama, yang saya kagumi pula karyanya. Terlebih lagi Mas J juga mengatakan
bahwa puisi itu sangat bagus, seolah puisi dari penyair yang sudah jadi. Saya
seperti mengawang, bahagia sekali. Jadi ada rasa pede tersendiri yang mendorong
saya untuk terus menulis, tanpa peduli pujian yang diberikan pada saya itu
tulus atau hanya demi memotifasi saya menulis.
Hari
demi hari saya terus mencoba merangkai kata. Menautkan kalimat-kalimat aneh
agar jadi puitis. Menangkap imaji dari sudut mana saja. Terus dan terus
memainkan diksi dan hal-hal lain yang sebetulnya belum lama saya kenal. Setelah
saya anggap tulisan itu jadi sebentuk puisi, dalam tafsir saya. Dengan sangat
pede saya akan menguplodnya di facebook, di bawah sebuah foto, dan menandai
beberapa kawan dan orang-orang yang katanya penyair. Lagi-lagi saya sering
dipuji. Aduhai, girangnya saya. Tanpa benar-benar peduli pujian itu tulus atau
sindiran atau motifasi atau apalah.
Sampai
suatu ketika beberapa orang mengatakan puisi saya “absurd”, salah satu istilah
yang sebetulnya baru bagi saya yang berlatar belakang seorang TKW. Bahkan Mas J
juga mengatakan begitu, meski dengan menjelaskan panjang lebar dan tetap
berusaha memotifasi saya. Tapi saying, saya sudah terlanjur galau, saya tak
pede tulisan saya dikatai “gelap”, yang menurut saya berarti pembaca tidak
mudeng sama sekali apa yang saya tulis. Seperti anak kecil yang lagi ngambek,
saya tiba-tiba sedikit menjauh dari puisi. Benar-benar galau dan tak tahu harus
bagaimana. Seolah nasehat setiap orang yang dating pada saya pun saya anggap
sindiran saja.
Saya
merenungi segala kegalauan saya, setelah keadaan hati kian membaik. Saya
berfikir, apasih sebetulnya yang saya risaukan? Dikatai absurd saja kog galaunya minta ampun. Padahal
ketika dipuji girangnya juga minta ampun. Dari situlah saya mulai menata
kembali hati saya. Saya mulai membaca tentang absurditas dalam puisi dan
menemukan puisi-puisi Afrizal Malna yang mana sama sekali tak saya mengerti
maksudnya tapi terasa sangat menarik. Ah, jika kata orang puisi seperti itu
juga absurd, lalu kenapa saya harus galau hanya karena dikatai tulisan saya
absurd. Meski tentu kualitas tulisan saya dan Malna tak sebanding, atau belum
sebanding.
Saya
bangkit lagi. Belajar lagi. Tanpa bosan. Jatuh bangun. Dan semakin tertarik
rasanya pada sastra, terutama puisi.
Biodata
Penulis:
Zuhrotul
Makrifah yang juga dikenal dengan nama pena Zahra Zhou, lahir di Kendal pada 12
Oktober 1989. Menyelesaikan pendidikan di SMA 1 Cpiring pada 2007 dan kini
bekerja sebagai perawat jompo di Taiwan. Mulai aktif sebagai Penggiat Sastra
Buruh Migran bersama para BMI Taiwan
lainnya. Beberapa karyanya dimuat di media massa berbahasa Indonesia di Taiwan.
Beberapa puisinya masuk dalam antologi Puisi Adalah Hidupku, Beranda Rumah
Cinta, Senyawa Kata-Kita,dll.
Keep spirit :)
BalasHapusWahh mbak zahra, :D
Ingin meniru semangatmu, dan belajar darimu mbak Za
BalasHapus