Senin, 13 Agustus 2012

ZAHRA BANGET



GALAUNYA TKW MENULIS DENGAN MODAL HP BUTUT



Oleh : Zuhrotul Makrifah



Awalnya saya hanya main facebook saja untuk menghilangkan rasa jenuh dari kerjaan, juga buat menghapus rasa rindu pada kawan dan kampung halaman. Ber-say hallo, ber-hahahihi, dan kadang kenalan sama teman baru. Seolah mencipta ruang dan dunia mengasyikan yang lain di luar kenyataan bahwa saya sendirian, di negeri orang, jauh dari saudara maupun kawan, dan melulu kerja. Sampai pada akhirnya saya mengenal beberapa kawan sesama Buruh Migran yang suka menulis, salah satunya Okti Li, yang mana tulisannya sering dimuat di majalah Indosuara-Taiwan. Dari dia saya mulai belajar bahwa, TKW juga bisa lho berkarya dan jadi penulis, buktinya dia bisa. Sejak itu ada semangat yang menggebu pada saya. Saya ingin juga jadi TKW yang mempunyai nilai lebih seperti itu. Tapi dari mana saya harus memulai? Sedang komputer saja tidak punya, buku-buku pun sebatas majalah saja-sebagai perantau tak leluasa untuk membeli buku, selain jarang toko buku yang menjual buku berbahasa Indonesia, saya juga tidak punya hari libur. Akhirnya saya mengiyakan ajakan dia untuk bergabung di KOPIT (Komunitas Penulis Indonesia-Taiwan), sebuah komunitas yang mewadahi para TKI Taiwan yang gemar menulis di facebook.



Waktu itu kebetulan sedang ada acara lomba menulis puisi oleh Kwek Li Na, penyair yang menikah di Taiwan, saya mengikutinya, dan bangga sekali ketika puisi saya dihargai dengan hadiah sebuah buku puisi karya Kwek Li Na. Seperti ada bagian lain dari saya yang terus berkoar bahwa saya harus lebih dari sekedar TKW, suatu ketika kelak. Selanjutnya saya mulai semakin mendekati beberapa penulis di facebook untuk sekedar membaca catatan mereka. Sampai Okti mengabari pada saya tentang penulisan FTS ramadhan buruh migran di beberapa Negara , saya sangat ingin mengikuti, tapi tak punya laptop atau pun computer. Saya hanya punya sebuah HP Sony Ericsson jadul, yang keypadnya pun telah sedikit eror. Saya benar-benar galau-meski tetap berdoa agar Tuhan memberi kemudahan. Hingga Okti bilang pada saya bahwa dia bisa membantu saya mengirimkan naskah, jadi saya kirim ke inbok dia di fb baru dicopy ke Microsoft word dan dikirim olehnya. Sebuah kebahagiaan luar biasa ketika membayangkan naskah saya akhirnya dimuat dalam sebuah buku.



Tapi untuk itu tentu saya tak boleh hanya membayangkan, bukan? Melainkan harus mengeksekusi mimpi itu dengan usaha nyata. Mulailah saya bergelut dengan si hp butut yang keypadnya kadang eror itu. Pertama saya menulis FTS saya di buku diary, lalu setiap ada kesempatan saya mengetiknya langsung di inbok yang saya tujukan untuk Okti. Tidak sekali selesai, karena selain ruang inbok lewat hp memang dibatasi kapasitasnya, jempol saya juga butuh istirahat. Hal itu pun sebetulnya lebih diperparah lagi karena ejaan bahasa Indonesia saya waktu itu belum baik, meski tidak sampai menggunakan model sms dan saya menuliskannya dengan kalimat utuh tanpa disingkat, hanya saja peletakan kata depan, awalan dan sebagainya masih berantakan. Untungnya Okti selain membantu saya mengirim, juga terlebih dahulu sedikit banyak merapikannya. Dan terpampanglah karya pertama saya dalam sebuah antologi FTS dengan judul 30 HARI DALAM CINTA-NYA.



Jadi ingat kata pepatah, “Dimana ada keinginan pasti ada jalan”, saya terus menulis dengan HP jadul itu untuk waktu selanjutnya. Sambil menambah jaringan pertemanan di facebook dengan para penulis, terutama yang menurut saya karyanya menarik hati saya dan sejalur dengan gaya saya. Karena tiap orang pasti punya pilihan dan penilaian yang berbeda terhadap sebuah karya dari seorang penulis.



Dari semua itu, saya pun pelan-pelan menyanggah opini kawan-kawan yang menyebutkan bahwa facebook tak lebih dari dunia maya yang “galau” tanpa arti. Karena ternyata di dunia maya itulah saya mulai belajar banyak hal, terutama di bidang kepenulisan. Sampai akhirnya saya berani menyimpulkan sendiri sebuah opini, bahwa sesungguhnya baik buruk dunia maya sangat dipengaruhi bagaimana kita memanfaatkannya, juga tujuan kita dalam berhubungan dengan orang-orang yang berselancar di dalamnya, serta kejelian kita memilih dan memilah apa yang baik untuk kita darinya.



Tak lama berselang saya mengenal seorang mantan pimred di sebuah surat kabar, beliau menuturkan pada saya apa itu sastra, selanjutnya beliau saya sebut Mas J. Saya kian merasa bodoh saja, merasa ilmu saya kian dangkal saja setiap mendapat penjelasan dari mas J . Tapi bukanya minder, malah dari situlah keinginan belajar saya kian bergelora. Setiap malam-ketika beliau ada waktu, dengan senang hati beliau menerangkan tentang dunia tulis-menulis pada saya, yang kemudian kami menyebut percakapan via inbok itu sebagai “Kuliah Malam”. Kami belajar sekenanya. Terutama saya, karena dalam posisi capek kerja seharian, pun besok harus bangun pagi-pagi. Tapi semangat saya berkobar hebat dan membuat saya tak banyak mengeluh. Tahap demi tahap berlalu, meski tidak mulus, karena beliau orang yang sibuk. Akhirnya beliau menyarankan kepada saya untuk membaca di beberapa blog, waktu itu beliau mengenalkan saya dengan blognya Goenawan Mohammad ketika suatu hari saya diijinkan memakai komputer anak majikan saya.



Saya sangat tertarik dan berhasrat untuk menulis puisi, meski saya belum berani berharap untuk jadi penyair suatu kelak. Sekali, dua kali, tiga kali, dan setelah beberapa kali membaca saya mulai belajar menulis puisi, yang kemudian saya kirim ke Inbok mas J, juga saya uplod di facebook dengan cara menuliskannya di bawah sebuah foto, soalnya kalau saya menuliskan di catatan, saya tidak bisa menandai teman-teman bila lewat hp, tapi kalau foto kan bisa ditandai.



Kalian bisa coba sebentar saja bayangkan kegirangan saya ketika puisi saya itu tanpa pernah saya duga sebelumnya mendapat respon banyak pujian dari beberapa penyair ternama, yang saya kagumi pula karyanya. Terlebih lagi Mas J juga mengatakan bahwa puisi itu sangat bagus, seolah puisi dari penyair yang sudah jadi. Saya seperti mengawang, bahagia sekali. Jadi ada rasa pede tersendiri yang mendorong saya untuk terus menulis, tanpa peduli pujian yang diberikan pada saya itu tulus atau hanya demi memotifasi saya menulis.



Hari demi hari saya terus mencoba merangkai kata. Menautkan kalimat-kalimat aneh agar jadi puitis. Menangkap imaji dari sudut mana saja. Terus dan terus memainkan diksi dan hal-hal lain yang sebetulnya belum lama saya kenal. Setelah saya anggap tulisan itu jadi sebentuk puisi, dalam tafsir saya. Dengan sangat pede saya akan menguplodnya di facebook, di bawah sebuah foto, dan menandai beberapa kawan dan orang-orang yang katanya penyair. Lagi-lagi saya sering dipuji. Aduhai, girangnya saya. Tanpa benar-benar peduli pujian itu tulus atau sindiran atau motifasi atau apalah.



Sampai suatu ketika beberapa orang mengatakan puisi saya “absurd”, salah satu istilah yang sebetulnya baru bagi saya yang berlatar belakang seorang TKW. Bahkan Mas J juga mengatakan begitu, meski dengan menjelaskan panjang lebar dan tetap berusaha memotifasi saya. Tapi saying, saya sudah terlanjur galau, saya tak pede tulisan saya dikatai “gelap”, yang menurut saya berarti pembaca tidak mudeng sama sekali apa yang saya tulis. Seperti anak kecil yang lagi ngambek, saya tiba-tiba sedikit menjauh dari puisi. Benar-benar galau dan tak tahu harus bagaimana. Seolah nasehat setiap orang yang dating pada saya pun saya anggap sindiran saja.



Saya merenungi segala kegalauan saya, setelah keadaan hati kian membaik. Saya berfikir, apasih sebetulnya yang saya risaukan? Dikatai  absurd saja kog galaunya minta ampun. Padahal ketika dipuji girangnya juga minta ampun. Dari situlah saya mulai menata kembali hati saya. Saya mulai membaca tentang absurditas dalam puisi dan menemukan puisi-puisi Afrizal Malna yang mana sama sekali tak saya mengerti maksudnya tapi terasa sangat menarik. Ah, jika kata orang puisi seperti itu juga absurd, lalu kenapa saya harus galau hanya karena dikatai tulisan saya absurd. Meski tentu kualitas tulisan saya dan Malna tak sebanding, atau belum sebanding.



Saya bangkit lagi. Belajar lagi. Tanpa bosan. Jatuh bangun. Dan semakin tertarik rasanya pada sastra, terutama puisi.



Biodata Penulis:

Zuhrotul Makrifah yang juga dikenal dengan nama pena Zahra Zhou, lahir di Kendal pada 12 Oktober 1989. Menyelesaikan pendidikan di SMA 1 Cpiring pada 2007 dan kini bekerja sebagai perawat jompo di Taiwan. Mulai aktif sebagai Penggiat Sastra Buruh Migran bersama para BMI  Taiwan lainnya. Beberapa karyanya dimuat di media massa berbahasa Indonesia di Taiwan. Beberapa puisinya masuk dalam antologi Puisi Adalah Hidupku, Beranda Rumah Cinta, Senyawa Kata-Kita,dll.

2 komentar: