SEPENGGAL CATATAN PEDIH ARYANI
Oleh: Zuhrotul Makrifah
Aku
selalu berharap semuanya baik-baik saja, meski sebenarnya dalam hati aku selalu
tahu bahwa semuanya telah berubah, tak sebaik dulu. Ayahku setiap hari
didatangi orang yang nagih hutang yang memang telah menggunung akibat dia malas
bekerja dan hanya mengandalkan kelihaiannya berjudi saja. Dia memang lihai
dalam berjudi bahkan sempat dijuluki raja judi, tapi dia tak pernah tahan
melihat perempuan semok yang menggoyang-goyang pantatnya atau memerkan belahan
dada sambil merayunya, yang kemudian mereka akan menyewa losmen murahan untuk
sekedar melampiaskan nafsu satu dua, lalu perempuan itu akan menguras uang
hasil judinya.
Aku
tahu semua itu dari potongan pertengkaran-pertengkaran Ayah dan Ibu. Setiap ibu
meminta jatah belanja dan Ayah hanya mampu memberi lembar lima ribuan, perang
mulut akan segera terjadi. Segala macam umpatan terdengar di sana-sini. Kini
ibu bahkan tak lagi tinggal di rumah kami. Adik perempuanku, Wati, juga harus
dirawat intensif di RSJ. Semuanya telah berubah begitu rancu, meski tetap saja,
aku selalu berharap semuanya baik-baik saja.
Seperti
malam ini yang kuharap akan memberiku banyak berkah , malah terasa begitu
berat. Berawal dari pelanggan yang biasanya meminta untuk kujemput dengan
ojekku yang mulai hilang satu persatu, malam ini semuanya pergi meninggalkanku,
tak tersisa satu pun. Beragam alasan yang mereka ajukan, mulai dari aku yang
tak punya SIM sampai permasalahanku pada Kobel, si preman Pasar Kawir yang
garang dan ditakuti itu.
Soal
SIM, aku pernah bertanya pada Mas Budi si Perangkat Desa yang doyan pake
nyongnyong itu, dia bilang salah satu syarat utamanya adalah usia tujuh belas
keatas. Sedang aku saat ini baru empat belas tahun. Aku pernah berharap seperti
teman yang lain, untuk menyogok agar bisa dituakan umurnya, biar dapat SIM,
tapi aku punya uang dari mana? Buat makan saja kadang tak ada sisa, bahkan
kurang. Akhirnya aku putuskan untuk
menunggu sampai tiga tahun kedepan buat mengurus lagi. Meski aku juga tetap tak
hendak berhenti dari pekerjaanku sebagai ojek motor yang telah kulakoni setahun
belakangan ini.
Sedang
mengenai keributanku dengan Kobel, berawal dari keisengan kobel yang menggoda
kakak perempuanku, Anita, yang usianya dua tahun di atasku. Waktu itu Anita
baru pulang kerja dari tokonya mang Dadang, di areal Pasar Kawir. Wajahnya
sumringah karena ada tetangga yang memberi tahu kalau tadi siang ada pak pos
yang sepertinya mengantar surat dari Ibu. Karena buru-buru, tanpa sengaja Anita
menyenggol sepeda yang diparkir di luar pasar hingga ambruk ke motor King milik
Kobel. Bukannya marah, Kobel seolah menahan diri sedemikian hingga dan memojokkan
Anita. Dengan nyali anjing, Kobel menggertak Anita yang memang telah lemas
karena takut. Kobel mulai mengelus paha dan dada Anita, sedang kroco-kroco
pengikutnya bersorak kegirangan. Anita mengelak saat Kobel hendak melumat
bibirnya, hingga sebuah tamparan ia terima. Anita menjerit, kroco-kroco Kobel
kian bersorak menyemangati tuannya.
Saat
itu aku sedang menjual beberapa lembar tiket konser Slank di perempatan dan
segera menuju ke Pasar Kawir setelah Dodot, kawan baikku, membisikan apa yang
terjadi pada Anita. Dengan perasaan khawatir dan kacau aku mendatangi mereka
dengan membawa beberapa polisi. Semenjak saat itu , Kobel memusuhiku.
Terkadang
aku ingin rasanya mengutuk Tuhan, yang seenaknya saja memberi nasib sial dan
pedih seperti ini. Tapi keangkuhan membuatku mengurungkannya. Bagiku, Tuhan
boleh saja melakukan semaunya, aku toh telah bersumpah pada diriku, tak akan
kalah pada kepedihan yang Ia tusukan beruntun terhadapku. Aku ingin Dia tahu, aku
tak lemah dan tak akan kalah pada takdirnya yang getir. Akulah Aryani,
perempuan yang sekeras batu, yang sadar suatu ketika akan lapuk dan lenyap ,
tapi ingin menyisakan kehidupan buat yang lain.
Begitulah masa kecil
yang melandasi hidupku, kepedihan demi kepedihan. Hingga Tuhan rasanya hanya
sepenggal kalimat omong kosong buatku. Aku tak percaya pada Tuhan, yang kelak
setelah dewasa dan belajar agama, hal ini akan membuatku berfikir bahwa itulah
kelemahanku: tidak bisa ikhlas pada cobaan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar