Sabtu, 02 Juni 2012

CERPEN


SEPENGGAL CATATAN PEDIH ARYANI

Oleh: Zuhrotul Makrifah



Aku selalu berharap semuanya baik-baik saja, meski sebenarnya dalam hati aku selalu tahu bahwa semuanya telah berubah, tak sebaik dulu. Ayahku setiap hari didatangi orang yang nagih hutang yang memang telah menggunung akibat dia malas bekerja dan hanya mengandalkan kelihaiannya berjudi saja. Dia memang lihai dalam berjudi bahkan sempat dijuluki raja judi, tapi dia tak pernah tahan melihat perempuan semok yang menggoyang-goyang pantatnya atau memerkan belahan dada sambil merayunya, yang kemudian mereka akan menyewa losmen murahan untuk sekedar melampiaskan nafsu satu dua, lalu perempuan itu akan menguras uang hasil judinya.

Aku tahu semua itu dari potongan pertengkaran-pertengkaran Ayah dan Ibu. Setiap ibu meminta jatah belanja dan Ayah hanya mampu memberi lembar lima ribuan, perang mulut akan segera terjadi. Segala macam umpatan terdengar di sana-sini. Kini ibu bahkan tak lagi tinggal di rumah kami. Adik perempuanku, Wati, juga harus dirawat intensif di RSJ. Semuanya telah berubah begitu rancu, meski tetap saja, aku selalu berharap semuanya baik-baik saja.

Seperti malam ini yang kuharap akan memberiku banyak berkah , malah terasa begitu berat. Berawal dari pelanggan yang biasanya meminta untuk kujemput dengan ojekku yang mulai hilang satu persatu, malam ini semuanya pergi meninggalkanku, tak tersisa satu pun. Beragam alasan yang mereka ajukan, mulai dari aku yang tak punya SIM sampai permasalahanku pada Kobel, si preman Pasar Kawir yang garang dan ditakuti itu.

Soal SIM, aku pernah bertanya pada Mas Budi si Perangkat Desa yang doyan pake nyongnyong itu, dia bilang salah satu syarat utamanya adalah usia tujuh belas keatas. Sedang aku saat ini baru empat belas tahun. Aku pernah berharap seperti teman yang lain, untuk menyogok agar bisa dituakan umurnya, biar dapat SIM, tapi aku punya uang dari mana? Buat makan saja kadang tak ada sisa, bahkan kurang.  Akhirnya aku putuskan untuk menunggu sampai tiga tahun kedepan buat mengurus lagi. Meski aku juga tetap tak hendak berhenti dari pekerjaanku sebagai ojek motor yang telah kulakoni setahun belakangan ini.

Sedang mengenai keributanku dengan Kobel, berawal dari keisengan kobel yang menggoda kakak perempuanku, Anita, yang usianya dua tahun di atasku. Waktu itu Anita baru pulang kerja dari tokonya mang Dadang, di areal Pasar Kawir. Wajahnya sumringah karena ada tetangga yang memberi tahu kalau tadi siang ada pak pos yang sepertinya mengantar surat dari Ibu. Karena buru-buru, tanpa sengaja Anita menyenggol sepeda yang diparkir di luar pasar hingga ambruk ke motor King milik Kobel. Bukannya marah, Kobel seolah menahan diri sedemikian hingga dan memojokkan Anita. Dengan nyali anjing, Kobel menggertak Anita yang memang telah lemas karena takut. Kobel mulai mengelus paha dan dada Anita, sedang kroco-kroco pengikutnya bersorak kegirangan. Anita mengelak saat Kobel hendak melumat bibirnya, hingga sebuah tamparan ia terima. Anita menjerit, kroco-kroco Kobel kian bersorak menyemangati tuannya.

Saat itu aku sedang menjual beberapa lembar tiket konser Slank di perempatan dan segera menuju ke Pasar Kawir setelah Dodot, kawan baikku, membisikan apa yang terjadi pada Anita. Dengan perasaan khawatir dan kacau aku mendatangi mereka dengan membawa beberapa polisi. Semenjak saat itu , Kobel memusuhiku.

Terkadang aku ingin rasanya mengutuk Tuhan, yang seenaknya saja memberi nasib sial dan pedih seperti ini. Tapi keangkuhan membuatku mengurungkannya. Bagiku, Tuhan boleh saja melakukan semaunya, aku toh telah bersumpah pada diriku, tak akan kalah pada kepedihan yang Ia tusukan beruntun terhadapku. Aku ingin Dia tahu, aku tak lemah dan tak akan kalah pada takdirnya yang getir. Akulah Aryani, perempuan yang sekeras batu, yang sadar suatu ketika akan lapuk dan lenyap , tapi ingin menyisakan kehidupan buat yang lain.
Begitulah masa kecil yang melandasi hidupku, kepedihan demi kepedihan. Hingga Tuhan rasanya hanya sepenggal kalimat omong kosong buatku. Aku tak percaya pada Tuhan, yang kelak setelah dewasa dan belajar agama, hal ini akan membuatku berfikir bahwa itulah kelemahanku: tidak bisa ikhlas pada cobaan Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar