Rabu, 11 Juli 2012

SENYAWA KATA-KITA

Pengantar buku “SENYAWA KATA KITA” Antologi Puisi Komunitas Cybersastra TITAH PENA HAMBA – DISKUSI SASTRA ONLINE
Hadi Napster
Jika ada yang bertanya tentang muasal lahirnya buku Antologi Puisi SENYAWA KATA KITA yang sangat sederhana ini, maka jawabannya adalah: cybersastra. Ya, sebuah transformasi baru dalam laju periodisasi kesusastraan yang mulai familiar dikenal sejak sekitar tahun 2001. Atau lebih tepatnya kala budaya internet mulai mewabah dalam geliat kehidupan sehari-hari di seantero negeri. Tak dapat dipungkiri, bahwa kehadiran cybersastra memang telah membawa dampak besar dalam dunia sastra. Laksana tamu tak diundang yang datang mengetuk pintu hati para penggiat, pemerhati, hingga peneliti sastra yang selama ini seakan terkunci. Meski oleh berbagai kalangan, diam-diam masih menjadi perdebatan, apakah kehadiran gaya baru bersastra ini membawa hal positif atau negatif? Lantas, apa saja sebenarnya yang telah, sedang dan akan terjadi melalui cybersastra?

Secara definitif, cybersastra dapat diartikan sebagai aktivitas sastra yang memanfaatkan fasilitas komputer dan internet. Memang banyak kalangan yang berasumsi bahwa terobosan inovatif dalam dunia sastra ini tidak lebih dari sekedar hasil karya orang-orang yang kurang kerjaan. Pun berbagai pertanyaan yang sering muncul ke permukaan demi mencari kesamaan etos antara cybersastra dengan sastra koran dansastra buku.Di sisi lain, ada juga kalangan, khususnya para penulis,yang tidak dapatmembaur ke dalam cybersastralantaran aktivitas yang satu ini memang membutuhkan keterampilan khusus mengoperasikan komputer serta kemampuan berselancar memainkan fitur-fitur internet. Sedangkan kita semua tentu mafhum bahwa tidak semua penggiat atau pemerhati sastra dapat melakukan hal tersebut, mengingat keterbatasan fasilitas maupun kendala gaptek. Jadi dapat dipastikan, hanya penggiat dan pemerhati sastra yang mau dan mampu mengikuti arus kemajuan teknologi informasi saja yang dapat berjibaku dalam cybersastra.
Secara kasat mata, ada beberapa alasan yang membuat para penggiat sastra terjun ke cybersastra. Yang pertama adalah karena telah jenuh dengan tradisi lama sehingga ingin mencari model kreatifitas baru. Sebab di dalam cybersastra segala ekspresi dan kreasi memang lebih terwakili. Dengan kata lain, karya apapun yang disuguhkan, akan tetap diakui eksistensinya.Alasan kedua, yakni ingin segera mencari popularitas. Karena sudah menjadi hal mutlak, melalui cybersastra nama seorang penulis atau pengarang akan sangat mudah danbegitu cepat terkenalsertaterangkat. Bukan hanya di dalam negeri, akan tetapi ke seluruh dunia di mana orang-orang mengakses internet serta membuka jaringan cybersastra. Yang lebih menarik lagi karena popularitas ini bisa didapatkan tanpa harus melewati wisuda khususdan menjadi sarjana ini-ituterlebih dahulu.Adapun alasan yang ketiga adalah sekedar iseng bermain internet, lalu menulis apapun yang dianggap dapat untuk ditulis. Dalam ketiga konteks di atas, terkadang juga dibarengi oleh anggapan bahwa sastra koran atau sastra buku telah menjadi hal yang hegemonik. Sehingga keinginan menulis pun ditumpahkan melalui cybersastra.
Kehadiran cybersastra dalam pandangan komunikasi sastra memang bersifat maya (virtual), yakni komunikasi jarak jauh dengan teknik baca khusus. Dengan kata lain, jika penggiat dan pemerhati sastra tidak menguasai “bahasa internet”, maka komunikasi sastra pun akan gagal.Olehnya itu, secara otomatis para pelaku cybersastra harus menghafal dan benar-benar fasih dengan kode-kode tertentu yang digunakan dalam komunikasi dan interaksi melaluicybersastra.Terkait kode-kode dalam karya sastra dimaksud, sebagaimana Teeuw dalam bukunya Membaca dan Menilai Sastra telah menyarankan; agar pemahaman karya sastra memperhatikan berbagai kode, antara lain kode sastra, kode budaya, dan kode bahasa. Yang mana ketiga kode tersebut ternyata hadir semua ke dalam cybersastra.
Kode sastra (hal ini berlaku bagi karya sastra secara umum), terkait dengan aspek-aspek “citraan”yang sedikit rumit. Dalam karya sastra jenis puisi misalnya, menggunakan citraan diksi sederhana namun bermakna sangat luas. Bahkan pada tataran ini, kadang-kadang menciptakan makna yang luar biasa. Sehingga para pembaca, pemerhati maupun peneliti sastra diharuskan bertaruh memahami citra yang sering abstrak dan bergumul dengan realitas dunia yang pseudo-realatau hyper-real. Kode budaya dalam cybersastra, berhubungan langsung dengan aspek teknologi canggih yang menjadi media penyebarannya. Atau dapat dikatakan menjadi bagian dari budaya industri, yang selalu menyuguhkan komoditas untung-rugi. Dengandisadari atau tidak, namun cybersastra berjalan pada wilayah tersebut, dan tentunya menimbulkan sebuah pertanyaan: siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Pada tataran demikian, peran masyarakat kapitalis tentu dapat lebih menentukan makna cybersastra, meskipun masih ada juga para penggiat cybersastra yang berat meninggalkan kapitalisme sehingga cybersastra independen masih sebatas dalam bayangan.Kode bahasa(juga berlaku bagi karya sastra secara umum), merujuk langsung pada penggunaan bahasa yang singkat, padat, bermakna dalam serta tak jarang mengandung unsurambiguitas, kontradiksi, dan nonsense.Tampilan fisik bahasa khas yang kadang berbaur dengan seni instalasi akan membawa pembaca dan pemerhati sastra pada kemampuan maupun keleluasaan untuk mengurai pemaknaan tersendiri dari karya-karya yang ditampilkan. Tentu saja termasuk keterkaitan pada kaidah-kaidah bahasa yang ada.
Lalu apa kira-kira manfaat cybersastra dalam tumbuh kembang sastra? Inilah pertanyaan yang wajib dijawab oleh para penggiat cybersastra, baik penulis, pembaca, pemerhati hingga para peneliti sastra. Ihwal paling mendasar yang dapat kita tilik tentu saja dampak hadirnya cybersastratelah membawa angin segar bagi para penulis –khususnya penulis baru– dalam upaya mempublikasikan karyanya. Dibandingkan ketika karya-karya mereka harus berjubel antri di meja redaksi penerbit buku konvensional atau redaksi koran dan majalah. Bisa jadi polemik ini pula yang membuat cybersastra tidak hanya melahirkan penulis-penulis baru, namun juga wajah lama yang berganti media.
Selanjutnya kita dapat menelaah kaitannya dengan promosi karya, pencapaian pasar, serta sejauh mana cybersastramenguntungkan dari segi finansial. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa cybersastra hanya sekedar tempat pelarian para penulis yang menjadi korban ketatnya seleksi sastra koran dan satra buku. Atau hanya menjadi ajang curhat para “penulis dadakan” yang cuma ingin berkeluh-kesah demi kepuasan batin semata. Jangan sampai giat sastra yang sedianya ditujukan sebagai salah satu kontribusi membangun kesusastraan ini justru hanya menguntungkan pihak-pihak penyedia dan pemilik situs internet saja.
Terkait subjek yang satu ini, maka sisi kualitas cybersastra layak untuk ditinjau lebih jauh. Meskipun persoalan mutu cenderung bersifat relatif, akan tetapi dapat dikaji lagi tentang bermutu atau tidaknya karya-karya yang lahir melalui cybersastra jika dilihat dari basis teori sastra secara lazim. Jangan sampai kehadiran cybersastra justru malah mementahkan kreativitas dan hanya dijubeli oleh kuantitas karya-karya penulis yang berdesak-desakan ingin segera terpublikasi, tanpa memedulikankualitas dari karya yang ditampilkan. Sebab dengan tidak adanya seleksi seperti pada sastra koran dan sastra buku, tentu menjadi peluang sangat besar akan terjadinya hal semacam ini. Dan jika masalah ini berlarut-larut tanpa adanya kritik melalui penelitian sastra secara signifikandan konsisten, maka justru akan menjadi titik degradasi sastra secara besar-besaran.
Masalah yang juga tidak dapat disepelekan dalam cybersastra adalah sejauh mana tanggapan pembaca, khususnya pada fenomena popularitas karya yang dalam hitungan menit saja dapat langsung terpublikasi ke puluhan, bahkan ratusan negara. Lantaran tidak menutup kemungkinan para pembaca atau pemerhati sastra yang selama ini tertinggalkan oleh sastra koran dan sastra buku, justru akan meramaikan cybersastra. Namun tentunya dengan pertimbangan; seberapa besar tingkat kemelekan masyarakat kita pada jagat internet? Hal ini benar-benar harus dipahami dengan baik dan ditilik secara proporsional, mengingat modal pembacaan melalui internet di samping menjadi beban keterbatasan fasilitas teknologi, juga merupakan beban finansial bagi pembaca.
Untuk kasus yang satu ini, adanya studi bandingan antara cybersastra dengan sastra koran dan sastra bukuoleh para peneliti sastra nampaknya dapat menjadi jawaban. Sebab dengan cara ini akan terungkap transformasi maupun persinggungan dari giat sastra di atas, sekaligus akan menjadi cara untuk mengetahui orisinalitassebuah karya. Karena sangat jelas dan bahkan sudah menjadi trenselama ini, bahwa karya-karya sastra koran dan sastra buku dipublikasikan juga melalui cybersastra, begitupun sebaliknya. Namun yang menjadi tantangan utama bagi para penggiat cybersastra adalahsejauh ini belum ada kode etik khusus yang mengatur atau membatasi aktivitasdalam cybersastra, sehingga dengan sendirinya perkembangan cybersastra pun seakan belum menemukan muara yang fokus demi memberikan kontribusi yang benar-benar bertujuan membangun kesusastraan.
Terlepas dari segala plus-minus yang mengiringi perjalanannya, harus diakui bahwa cybersastra telah menyuguhkan sistem sastra yang unik dan berhasil menciptakan ekologi sastra baru. Dari cybersastra para penulis mulai dan telah membangun stus-situs sastra monumental, pun pembaca yang dengan sangat mudah dapat mengetahui informasi tentang sastra –bahkan dari sejumlah periodisasi sekalipun–yang telah disajikan dengan lengkap dan beraneka ragam lewat jaringan cybersastra. Kehadiran cybersastrajuga telah menghilangkan sekat-sekat dalam bersastra, di mana persoalan waktu, tempat dan kesempatan, bukan lagi menjadi masalah. Dalam cybersastra gerakan sastra pedalamanserta sastra marginal lebih mendapatkan ruang dan lebih dianggap, dikarenakan tidak adanya pembatasan strata. Jadi paham-paham sentralisasisastra telah berubah menjadi desentralisasi sastra, sehingga hak-hak hidup etnis akan lebih terwadahi dalam berkarya dan berkreasi.
Angin segar hadirnya cybersastra juga terasa langsung dengan kemudahan berinteraksi. Baik dalam lingkup sesama penulis, maupun antar penulis dengan pembaca dan para pemerhati sastra. Kemudahan untuk saling memberi apresiasiini tentu sangat membantu proses evaluasiterhadap sebuah karya secara khusus, dan tumbuh-kembang sastra secara umum. Dengan kata lain, hubungan antar para penggiat cybersastra jauh lebih akrab dan pragmatis, sehingga lebih memudahkan untuk saling memberi pandangan dan bertukar pikiran serta pengetahuan melalui forum-forum diskusi online.
Namun bukan berarti tidak ada hal yang perlu digarisbawahi di balik kehadiran cybersastrayangfenomenal. Satu contoh paling mendasar; dengan tidak adanya “batasan” kreativitas seperti halnya sastra koran dan sastra buku, maka kebebasan berimajinasi penulis tentu akan menciptakan eksperimen- eksperimen baru. Bahkan ada yang sesuka hati. Akibatnya, karya-karya sastra yang lahir pun semakin liar dan kadang tak terkendali. Hal ini juga dipicu dengan adanya paham tentang otokrasi koranyang telah menjadi paradigma tersendiri bagi sebagian penulis, yang lantas melahirkan anggapan bahwa in house style koran justru sering memberangus penulis. Gejolak ini semakin ditunjang dengan mewabahnya penerbit-penerbit buku berlabel indie (non konvensional) yang dengan senang hati akan memfasilitasi para penulis jika ingin membukukan karyanya. Meski mayoritas kerja samaala indie ini hanya menilik sisi keuntungan finansial semata, tanpa mempertimbangkan kaidah bahasa, makna, maupun dampak baik-buruk dari buku yang sedianya akan diterbitkan.Masalah inilah yang perlu dikaji ulang secara serius oleh para peneliti sastra, karena jangan sampai ramainya giat cybersastra dan membanjirnya buku-buku indie di pasaran, pada akhirnya justru akan meruntuhkan kualitas serta menghancurkan tatanan kesusastraan sendiri.
Pada kesimpulannya, apapun kenyataan yang ada, sastra tetap harus berterima kasih kepada cybersastra. Karena kehadirannya yang telah membawa warna dan pencerahan baru dalam dunia sastra. Meski masih ada saja kalangan yang beranggapan bahwa cybersastra hanyalah konsumsi segelintir orang frustrasi yang hendak menumpahkan unek-unek dalam hati melalui tulisan, namun pada kenyataannya telah berbeda. Cybersastratelah merambah ke seluruh lapisan penggiat sastra, tanpa memandang usia, status sosial maupun eksistensi dalam bersastra. Hingga kelak di suatu waktu yang masih entah, di mana kita harapkan ketika itu telah ada kode etik, sistem dan mekanisme khusus yang mengatur segala hal terkaitdengan keberadaan cybersastra, maka kenyataan masih akan tetap sama; bahwa demokratisasi ekologisyang telah lahir melaluicybersastra akan terus meluas dan menjadi daya tarik tersendiri. Pun jika harus mengkilik-kilik andil nyata cybersastra terhadap perkembangan sastra, maka secara umum barangkali dapat dikedepankan pernyataanBudianta, dkk. (2004:24); bahwa semua pihak yang terkait dengan reproduksi dan produksi sastra akan sangat menentukan perkembangan sastra.
Oleh karenanya, dengan iringanbasmalah punhamdalah, mewakili seluruh sahabat penulis dan pemerhati sastra yang sehari-hari bergiat di Komunitas Cybersastra TITAH PENA HAMBA, kami serahkan sepenuhnya tulisan hasil karya 64 penyairyang terangkum dalam Buku Antologi Puisi SENYAWA KATA KITAini kepada seluruh pembaca, untuk selanjutnya memberi anggapan pun tanggapan. Tentunya dengan satu tujuan yang kami emban bersama-sama, yakni membangun kesusastraan serta menegaskan dengan setegas-tegasnya bahwa cybersastrabukan hanya sekedar iseng, akan tetapi telah mencipta rezim baru dalam dunia sastra. Sekaligus sebagai bukti bahwa cybersastra dengan sastra buku telah melebur dalam sebuah transformasi serta akan terus membudaya sepanjang sejarah kesusastraan.
Tak lupa pula kami haturkan terima kasih mendalam kepada orang tua kami Ersis Warmansyah Abbas, selaku motivator dan figur yang telah menggagas wacana sekaligus memfasilitasi penerbitan buku ini. Semoga segala warna yang tertuang dalam buku ini dapat menjadi instrumen tersendiri yang akan ikut mengiringi gemulai tarian sastra, dalam angan dan harapan kita semua. Dalam cerlang cinta dan kemauan para penyair TITAH PENA HAMBA, yang selalu ingin MENULIS dengan INDAH, BAIK, BENAR dan BERGUNA.
Yogyakarta, Juli 2011
Salam Bahasa, Sastra dan Budaya!
______________
Powered : Ersis Warmansyah Abbas (Banjarbaru)
Pengantar : Hadi Abdul Hamid (Yogyakarta)
Prolog : Dimas Arika Mihardja (Jambi)
Epilog : Puja Sutrisna (Boyolali)
(64 Penyair – 126 Puisi)
- Rindu Takbir (Abdul Malik)
- Saat Terindah (Abdul Malik)
- Bungkam (Ade Afiat)
- Untuk Esok Pagi (Ade Afiat)
- Onak (Ade Batari)
- Tembok (Ade Batari)
- Keluh? Huh! (Ahmad Filosofia)
- Setiap Hari Adalah (Ahmad Filosofia)
- Pada Tanah Kelahiran (Alfikry Ilmi)
- Delusi (Ali Mukhsin)
- Kabut Hati (Ali Mukhsin)
- Repihan Hati (Ali Mukhsin)
- Ciuman Pertama (Amin Nuansa Reftil)
- Dua Garis Nasib (Amin Nuansa Reftil)
- Entah (Amin Nuansa Reftil)
- Imperium Cinta (Amin Nuansa Reftil)
- Pada Lilin Pertama Kita (Amin Nuansa Reftil)
- Pada Rahim Ibumu (Andi Tendriola)
- Tentang Jarak dan Waktu (Andi Tendriola)
- Ciuman Terakhir (Anwari WMK)
- Tawa dan Candamu (Anwari WMK)
- Misteri Yang Bersahaja (Asral Sahara)
- Sajak Melankolik (Asral Sahara)
- Elegi Cinta Semusim (Astry)
- Lelaki Belati (Astry)
- Wajahku di Kolong Langit (Asyari Muhammad)
- Koi (Boedi Ismanto)
- Kepada Kembara (Dalasari Pera)
- Surat Kabar (Dalasari Pera)
- Usai Percintaanku (Deri Hudaya)
- Yang Bernama Sepuluh Bunga (Deri Hudaya)
- Lukai Tubuhku, Jangan Hatiku (Dewi Restunawati)
- Titian Kalbu (Dewi Restunawati)
- Jasadku dan Kaki Langit (Didi PS.)
- Derap Rindu (Dien Makmoer)
- Kursi Pengadilan (Dien Makmoer)
- Hutan Jati (Dissa Thami Putri)
- Kemarin (Dissa Thami Putri)
- Cinta 69 (Dwee WieLee)
- MerinduMu (Dwee WieLee)
- Prasasti Rindu (Dwi Ayu Prahandini)
- Bingkisan di Ujung Senja (Eka Watiningsih)
- Kelam Tak Segaris Bulan (Eni Meiniar Gito)
- Akasara Mati (Ezzyla Fi)
- Dendam Terindah (Ezzyla Fi)
- Amuk (Fauzi Nurbain)
- Syukur (Fauzi Nurbain)
- Ta’ziah (Firman Hidayat)
- Ratapan Dini Hari (Firman Maulana)
- Syair Bintang Untuk Rembulan (Firman Maulana)
- Pijak Resah (Galih)
- Entah (Gito Tias)
- Epigram Dalam Renungan (Hadi Abdul Hamid)
- Gatra Murakab (Hadi Abdul Hamid)
- Hikayat Kita dan Cinta (Hadi Abdul Hamid)
- Kontradiksi Era (Hadi Abdul Hamid)
- Paradoks Sastra (Hadi Abdul Hamid)
- Nyanyian Lilin (Hanna Yohana)
- Bila Patah Tak Tumbuh, Hilang Bukan Ganti (Hj. S. Bariah)
- Suluhan Jiwa (Hj. S. Bariah)
- Aku Ingin (Ibnu Din Assingkiri)
- Stasiun Sepi (Ibnu Din Assingkiri)
- Walau Tuan Berlaku Curang (Ibnu Din Assingkiri)
- Aroma Tanah Basah dan Saat Jiwa Mulai Menembang (Imron Tohari)
- Ohai! (Imron Tohari)
- Pernikahan di Bingkai Sajak (Imron Tohari)
- Cerita Anak Kampung (Irwanto HPD)
- Rerumput Kata (Irwanto HPD)
- Kita (Lingsir Wengi Guntono)
- Migren (Lingsir Wengi Guntono)
- Sesal (M. Nur Chamim)
- Tanpa Makna (M. Nur Chamim)
- Andai (Mahendra PW)
- Ini Bukan Rindu (Meli Imel)
- Saja Kau Saja (Meli Imel)
- Sebelum Ajal Mengetuk Manja (Moh. Ghufron Cholid)
- Yang Tersisa Hanya Pencipta (Moh. Ghufron Cholid)
- Hakikat Kelahiran (Muhammad Maulana Rumi)
- Sujud (Nadzme Bali)
- Sajak Malam (Neogi Arur)
- Teori (Neogi Arur)
- Rinduku (Nikky Mas Yadi)
- Pentas Masa (Noer Komari)
- Kenangan Bulan Ketiga (Nur Ridwan Shidiq)
- Ridict I (Nurani Soyomukti)
- TitahMu (Pepen Dianto)
- Di Rimba Penantian (Pidri Syaikhal)
- Jejak Pagi (Pidri Syaikhal)
- Elegi (Prasetyo Gunawan)
- Hening (Prasetyo Gunawan)
- Kepadamu (Prasetyo Gunawan)
- Mari Mencumbu Rindu (Prasetyo Gunawan)
- Puisi Perlu Kesederhanaan (Prasetyo Gunawan)
- Buat Apa (Puja Sutrisna)
- Menggenggam Matahari (Puja Sutrisna)
- Surga Itu Mudah? (Puja Sutrisna)
- Dunia (R. Hadi Isdi Hartana)
- Penjagal Malam (R. Hadi Isdi Hartana)
- Ada Hujan Lebat di Matamu (Renny Sendra Wahyuni)
- Catatan Malam (Renny Sendra Wahyuni)
- Harapan di Hatiku (Renny Sendra Wahyuni)
- Rakyat Istimewa (Renny Sendra Wahyuni)
- Tidur di Basah Aspal (Renny Sendra Wahyuni)
- Aku Titipkan Kekasihku (Restu Putri Astuti)
- Cermin Retak (Restu Putri Astuti)
- Audrey (Romyan Fauzan)
- Danau Itu Muram (Romyan Fauzan)
- Ronta Petani (Romyan Fauzan)
- Gerimis Pagi (Saidati Najia)
- Tragedi Subuh (Saidati Najia)
- Azure (Soei Rusli)
- Malam Ini (Soei Rusli)
- Pengelana (Supartini Apriawati)
- Aku Adalah Malam (Syahrial Mandeliang)
- Nanti (Tuditea Masditok)
- Terasing (Ungke)
- Wassalam (Ungke)
- Janji Adalah Keramat (Yandri Yadi Yansah)
- Kau (Yandri Yadi Yansah)
- Nilam (Yandri Yadi Yansah)
- Rusak (Yandri Yadi Yansah)
- Tergugah (Yandri Yadi Yansah)
- Aroma Dusta (Zuhrotul Makrifah)
- Dentang Jam Kedua (Zuhrotul Makrifah)
- Hujan Tengah Malam (Zup Dompas)
- Tanda Manusia (Zup Dompas)

sumber :  http://www.facebook.com/notes/hadi-napster/antologi-senyawa-kata-kita-1/306166009408529

Tidak ada komentar:

Posting Komentar